Ada istilah yang sering kita dengar, yaitu “Toleransi” (dalam bahasa Arab: “Tasaamuh”). Toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Toleransi adalah penyimpangan dari yang tadinya harus dilakukan, penyimpangan yang dapat dibenarkan.”Mengapa manusia harus bertoleransi?.
“Agama menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, pasti berbeda-beda.
Itu bukan saja keniscayaan, itu juga kebutuhan. Tapi pada saat yang sama, Tuhan menghendaki juga agar kita bersama: bersama dengan Tuhan dan bersama dengan seluruh manusia, karena kita semua berasal dari ayah dan ibu yang sama.Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia harus bertoleransi.Sekali lagi kita bertanya, mengapa harus bertoleransi?
- Karena semua manusia mendambakan kedamaian. Tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian.
- Semua kita mendambakan kemaslahatan. Tanpa toleransi, tidak akan ada kemaslahatan.
- Semua kita menginginkan kemajuan. Tanpa toleransi, kemajuan tidak akan tercapai.
Dari sini, agama pun memberikan toleransi, bukan saja kehidupan bermasyarakat, tapi juga dalam kehidupan beragama.Saya akan memberikan beberapa contoh dari ayat-ayat al-Qur`an, bahkan dari sejarah Nabi SAW, melihat bagaimana tingginya toleransi beliau, bagaimana tingginya toleransi yang diajarkan oleh al-Qur’an guna menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan. Bukan saja bagi umat Islam, tapi bagi seluruh rakyat, masyarakat, bahkan seluruh manusia. Nabi SAW menyatakan bahwa: “Aku diutus dengan agama yang penuh toleransi”.
Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, penulis perjanjian itu, dalam konsepnya Nabi menyatakan: “Bismillahirrahmanirrahim”.Oleh kaum musyrik, kalimat Basmalah itu tidak disetujui oleh mereka. Mereka meminta agar ditulis: “Bismikallahumma”. Nabi SAW berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hapus Basmalah dan tulis Bismikallahumma sesuai usul mereka”. Kemudian Nabi SAW menyusun dan menyatakan:”Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan wakil dari kaum musyrik Makkah”.
“Seandainya kami mengakui engkau sebagai Rasul Allah, maka kami tidak akan memerangimu
Pemimpin delegasi kaum musyrik berkata:”Seandainya kami mengakui engkau sebagai Rasul Allah, maka kami tidak akan memerangimu, tulis: Inilah perjanjian antara Muhammad putra Abdullah”. Nabi SAW pun berkata: “Hapus kata Rasulullah dan ganti dengan Muhammad bin Abdullah”.Ali bin Abi Thalib dan para sahabat tidak ingin bertoleransi dalam hal ini. Mereka enggan menghapusnya, tetapi Nabi SAW yang penuh dengan toleransi itu menghapus tujuh kata itu demi kemaslahatan, demi perdamaian.Kita memang tidak boleh mengorbankan aqidah demi toleransi, tetapi pada saat yang sama, kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama aqidah.
Kita perlu bertoleransi, karena sekian banyak ayat al-Qur’an berbicara atau menganjurkan kita menerapkan toleransi itu.Bacalah surah Saba` ayat 25 dan 26, kita akan menemukan disitu, Nabi SAW diajarkan untuk menyampaikan kepada kaum musyrik, kepada non-muslim, bahwa “kami atau anda” yang berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata.
Jika Nabi SAW saja sangat toleransi dengan kaum musyrikin..
Boleh jadi kami yang benar, boleh jadi juga kami yang salah. Tetapi nanti Allah akan menghimpun kita, dan Dialah yang akan memberikan putusan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini bukan berarti kita mengorbankan aqidah dengan kita berkata bahwa kita salah, tetapi demi kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian. Jangan mempermasalahkan pemahaman / keyakinan orang. Katakanlah, “Boleh jadi anda benar, boleh jadi juga anda salah”. Jika Nabi SAW saja sangat toleransi dengan kaum musyrikin, masa iya diantara kita, dengan sombong, sok pinter dan sok alim, masih menyesatkan dan mengkafirkan sesama muslim?
Dikutip langsung dari akun fb Ustadz Azharul Fuad Mahfudh