Di dalam al-Qur`an, Allah SWT menjelaskan bagaimana Iblis dan pasukannya menggoda manusia agar melakukan larangan Allah. Misalnya di dalam surat al-A’raaf, dijelaskan bagaimana Iblis menggoda orang tua kita, nabi Adam dan Siti Hawa ‘alaiHimassalam, sehingga keduanya melanggar larangan Allah memakan buah terlarang, yang pada akhirnya keduanya keluar dari surga. ‎Dalam surat al-A’raaf ayat ke-22, Allah SWT menjelaskan dengan kalimat:

فَدَلَّىٰهُمَا بِغُرُورٍ‎

“dan Iblis menggoda keduanya dengan tipu daya.”‎

“Adlaa”, dalam bahasa Arab berarti menarik sesuatu menggunakan ember. Muncullah kata “Dalwun” yang berarti ember. Seperti orang tua kita dulu saat mengambil air dari sumur. Diturunkan embernya, kemudian ditarik perlahan-lahan.‎ Kalau “Dallaa” (Dalla – Yudallii – Tadliyah), menariknya itu lebih pelan lagi, sangat perlahan, very slowly but sure. Seperti cara berburu orang primitif. Misalnya, ketika berburu kelinci, maka caranya dengan mengikat umpan berupa wortel. Ditarik perlahan-lahan agar kelinci itu mengikuti. Ditarik sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, hingga kelinci itu mendekat, dan akhirnya tertangkap.‎ Begitulah cara Iblis menggoda nabi Adam dan siti Hawa ‘alaiHimassalam untuk memakan buah terlarang. Iblis tidak langsung menggoda keduanya untuk memakan buah itu. Tapi Iblis menggunakan cara yang sangat halus, bahkan membutuhkan waktu yang sangat lama hingga akhirnya berhasil merayu keduanya memakan buah terlarang. Bayangkan!!‎
Surga itu luasnya seluas langit dan bumi. Allah SWT menjelaskan : “Wa ‘ardhuHassamaawaatu wal ardh”. Dalam ayat lain: “Wa ‘ardhuHaa kas-samaa`i wal ardh”, luasnya surga itu mungkin bisa engkau bandingkan seluas langit dan bumi. Artinya, surga lebih luas lagi! ‎Bisa dibayangkan, ada berapa juta pohon di dalam surga itu. Dan Allah menggunakan kata “Jannah”, yang artinya taman yang setiap jengkalnya ditumbuhi pepohonan. Dari sekian juta pohon itu, yang dilarang memakan buahnya hanya satu pohon! ‎Betapa sulitnya Iblis menggoda nabi Adam dan siti Hawa untuk memakan buah terlarang itu. Kalau zaman sekarang, mungkin Iblis menggunakan GPS yang super canggih untuk mengarahkan keduanya mendekati pohon terlarang. “Hei Adam.. itu ada pohon anggur, enak rasanya. Hei Adam, itu pohon apel, pohon pisang, strowberry. Hei Adam, ada air terjun, sungai, gunung, pemandangan yang indah, ada ini, itu, ini, itu, dst…”‎

Tanpa disadari, itu semua merupakan peta yang dibuat Iblis untuk mendekatkan keduanya ke pohon terlarang. ‎Seorang ulama sufi Irak, Syeikh Dhirar bin Murrah, pernah berkata, bahwa Iblis berkata:

“Jika aku mampu mengusai Bani Adam dalam tiga hal, berarti keinginanku telah tercapai dan aku telah menang, yaitu:”‎

‎1. Jika manusia lupa akan dosanya. ‎Ketika manusia lupa akan dosanya, maka ia tidak akan bertaubat dan mohon ampun kepada Allah SWT. Sehingga ia tetap bergelimang dosa

2. Jika manusia merasa sudah cukup amalnya.‎
“Saya kan sudah haji dan umrah berkali-kali. Sholat di masjidil haram itu 100 ribu kali lipat dari sholat di masjid biasa. Saya kan sudah sering sedekah, jadi sudah banyak pahala saya”.‎ ‎Padahal, belum tentu amalnya diterima Allah. Banyak faktor yang menyebabkan suatu amal tidak diterima Allah, Riya`, misalnya.
‎Orang yang sudah merasa cukup amalnya, maka ia tidak akan mau lagi meningkatkan amal ibadahnya.

‎3. Jika manusia kagum akan dirinya, merasa paling pintar, paling baik dan paling benar.‎
‎Orang seperti ini sudah tidak mau lagi mendengar nasehat. Nasehat apapun tidak akan didengarnya. Ketika ada seseorang memberitahu bahwa pendapatnya keliru, ia akan berkata: “Emang lo siapa? Gue lebih pintar dan lebih baik dari lo!”.‎ ‎Ia tidak tahu, bahwa yang pertama kali berkata seperti itu adalah Iblis. Ketika Allah SWT bertanya kepada Iblis mengapa tidak mau sujud kepada nabi Adam as, Iblis menjawab:

قَالَ أَنَا خَيْر مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ

Iblis berkata: “aku lebih baik dari Adam. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. al-A’raaf/7: 12)

‎Sekarang ini di media sosial banyak orang yang baru belajar agama, tapi sudah merasa seperti seorang pakar, ahli tafsir dan hadits. Pendapat yang berseberangan dengan pendapatnya langsung disalahkan bahkan disesatkan. Hingga akhirnya muncul sikap permusuhan di kalangan umat Islam sendiri. ‎Baru ikut satu pengajian atau satu halaqoh, baca satu kitab tidak sampai setengahnya, paham tidak sampai seperempatnya, tapi berani menyesatkan dan mengkafirkan saudara muslimnya. Tentu sikap seperti ini bukanlah sikap terpuji. Karena seharusnya, semakin tinggi ilmu seseorang, maka ia semakin tawadhu’ dan semakin bijak dalam bersikap. Apalagi menyalahkan pendapat ulama dengan mata melotot. Suatu sikap yang tidak menggambarkan pribadi muslim yang tawadhu, rendah hati dan hormat kepada para ulama. ‎Semoga kita terhindar dari ketiga hal diatas, dan semoga Allah SWT melindungi kita dari godaan setan yang terkutuk. Aamiin..

Oleh (Azharul Fuad Mahfudh)‎

Leave a Comment