Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara:
Sebagai ahli hadis, Imam syafi’i benyak sekali menyandarkan pandangannya pada hadis yang soheh, karena itu banyak pandangannya yang perlu dan boleh diikuti. Tidaklah mesti kalau, misalnya, ada satu pendapat yang bertentangan dengan hadis (perlu pembuktian), itu tidak berarti bahwa pandangan-pandangannya salah, dan pendapatnya tidak boleh diikuti. Untuk menyelesaikan perkara-perkara fikih, maka hads (textnya) saja tidak cukup memadai. Ini harus melibatkan pemahaman, analisa dan metode untuk menjadikannya sebuah hukum, melalui deduksi (istinbath). Karena memang hadis sebagaimana al-Qur’an adalah bahasa simbolis yang memerlukan penafsiran dari ulama untuk sampai pada keputusan seuah hukum. Jadi tak terbayang bagaiamana ilmu fikih bisa dikonstruksi hanya melalui hadis tanpa ijtihad dari pada fuqaha? Lalu meninggalkan ulama untuk kemudian bersandar hanya pada text hadis secara harfiah saja. Kalau begitu, bagaimana ilmu fikih akan terbentuk? Kalau ilmu fikih tidak terentuk, bagaimana kita akan menjalan ibadah kita? Wallahu a’lam. ADAKAH NABI JUGA FILOSOF? Membaca surat al-Baqarah ayat 151 (كما ارسلنا فيكم رسولا منكم يتلوا عليكم ءايتنا ويزكيهم ويعلمكم الكتاب والحكمة ) dan 251 (وقتل داود جالوت وآتيناه الله الملك والحكمة) memberi kesan kepada saya bahwa selain nubuwwah, nabi juga diberikan Allah hikmah. Hikmah dalam tradisi ilmiah Islam adalah filsafat, seperti tercermin pada judul kıtab Hikmat al-Isyraq, dll. Selain kitab, beberapa Nabi (Muhammad, Idris dan Dawud) juga diberi hikmah dan juga kekuasaan. Ini barangkali yang menyebabkan al-Amiri, filosof Khurasan, pernah berkata bahwa setiap nabi adalah filosof, tapi tidak sebaliknya. Luqman adalah filosof (al-hakim) tapi bukan nabi. Ini penting karena telah lama filsafat dipertentangkan dengan agama. Bahkan Abu Sulayman pernah perkata bawa filsafat dan agama adalah dua jalan yang berbeda. Tapi dengan dua ayat di atas nampak bahwa pada dasarnya keduanya (setidaknya dalam tradisi ilmiah Islam) bısa dipersatukan, seperti yang dipercayai al-Kindi dan al-Amiri, karena keduanya diberikan oleh Allah.Dalam kaitan ini Nabi Idris adalah unik. Karena beliau diberikan tiga keutamaan oleh Allah: kitab, hikmah dan kekuasaan. alam tradisi filsafat dan teosofi Islam, Nabi Idris disamakan dengan Hermes, yang gelarnya adalah Trismagistus, yang artinya Hernes dengan tiga keagungan. Tiga keagungan tersebut dikaitkan oleh para pemikir Muslim dengan keagungan yang diberikan Allah padanya: kitab, hikmah dan kekuasaan. Wallahu a’lam. TERNYATA ORANG BERIMAN MASIH PERLU BURHAN.

AL-BAQARAH, AYAT 260:
واذ قال ابراهم رب ارنى كيف نحي الموتى قال اولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئن قلبى Ayat ini dengan jelas menunjukkan betapa seorang yang telah beriman seperti Nabi Ibrahim As, masih perlu bukti yang mantap untuk menenangkan hatinya dan menguatkan imannya. Bukti tersebut bisa didapatkan oleh Nabi langsung dari Allah, tapi juga dari pencarian intensif dan perenungan rasional, seperti yang lakukan Nabi Ibrahim ketika mencari hakikat Tuhan.. (surat 6: 76) dan bagi kita yang bukan nabi bukti itu bisa didapatkan dari para ulama dan juga para hukama, berupa burhan (dalil demonstratif), sehingga tidak menjadi iman yang buta. Di sinilah saya menemukan pentingnya belajar filsafat, tentunya setelah ilmu-ilmu naqliyah, karena dalam filsafat ditemukan banyak argumen rasional yang bisa nemperkuat keimanan kita, baik terhadap keberadaan Allah, keesaan-Nya, maupun kasih sayang, keindahan dan kekuasaan-Nya, seperti yang sebagian telah saya paparkan dalam buku saya Lentera Kehidupan. Inilah yang menyebabkan saya yakin bahwa antara filsafat (khususnya seperti yang dikembangkan dalam dunia Islam) dan agama bisa saling bergandengan dan tidak harus selalu dipertentangan seperti yang sering terjadi di dunia modern. Terlalu naif rasanya kalau kita hanya fokus pada al-Qur’an dan hadis saja sementara menyingkirkan yang lain seperti sains, falsafah maupun tasawuf. Allahu a’lam. Semoga manfaat!

Dikutip langsung dari akun Fb Ustadz Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara

Leave a Comment